Ilmu sesungguhnya sebanding dengan amal. Jadi ilmu bukan hanya sebatas pengetahuan, pemahaman atau hafalan saja. Lebih dari itu, salah satu sifat orang berilmu atau pencari ilmu adalah mengamalkannya sebelum menyebarluaskan. Al Imam asy Syafi’i berkata, “ Ilmu itu bukan sekedar apa yang dihafal, tetapi yang dimaksud ilmu adalah apa yang bermanfaat” dalam Alquran, Allah senantiasa mengaitkan kata al’alim (maha mengetahui ) dengan al halim (maha bijaksana). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara ilmu dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud disini bukan hanya mampu membedakan yang benar dan yang salah sebagaimana ilmu yang dimiliki, namun juga mampu mensikapi segala sesuatu dengan tepat, sesuai dengan porsinya. Termasuk pula kebijaksanaan adalah bagaimana menempatkan ilmunya itu bagi dirinya sendiri, orang lain, dan ummat secara umum.
Allah jelas-jelas membedakan derajat orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Walupun sama-sama diberi perangkat-perangkat untuk mencari ilmu, rupanya tidak setiap manusia mau dan mampu memanfaatkan potensi ini. Oleh karena itu wajar jika Allah memberikan penghargaan tersendiri bagi orang-orang yang mau mencari ilmu.
Penuntut ilmu sejati, takkan pernah merasa jemu. Bila semula belajar menjadi beban, akhirnya ilmu menjelma menjadi sebuah kenikmatan. Semakin banyak dicari, semakin banyak dimiliki, pesona ilmu makin menarik hati untuk dicari. Abdullah bin Mas’ud berkata, “ada dua golongan yang tidak akan pernah merasa puas, penuntut ilmu dan pemburu dunia. Keduanya tidak sama. Adapun penuntut ilmu semakin mendatangkan ridha ar-Rahman, sedangkan pemburu dunia semakin membuat dirinya melampaui batas”.
Seseorang yang berilmu pada akhirnya dituntut untuk mengajarkan ilmunya. Tak hanya itu, ia juga harus pandai memilih materi yang sesuai dengan kadar dan tingkat kemampuan orang lain, termasuk memilih orang yang berhak mendapat ilmu dan tidak memberikan kepada selainnya. Pada terakhir ini, Katsir bin ‘Umair berkata, '"Jangan engkau sampaikan hikmah kepada orang-orang bodoh sehingga mereka akan mendustakannya, jangan engkau sampaikan kebatilan kepada orang-orang bijak sehingga mereka akan membencimu, janganlah engkau halangi ilmu dari orang yang berhak mendapatkannya sehingga kamu berdosa, dan jangan engkau sampaikan kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya sehingga engaku menjadi orang bodoh. Engkau mempunyai kewajiban terhadap apa yang engkau miliki sebagaimana engkau mempunyai kewajiban terhadap harta yang engkau miliki."
Jika para malaikat mempunyai keutamaan karena kemuliaan yang diberikan kepada mereka, maka ulama (orang berilmu) juga memiliki keutamaan karena kemuliaan yang dianugerahkan kepada mereka. Disinilah Allah dengan segala kebijaksanaan-Nya menempatakan segala sesuatu dengan tempatnya. Jadi kalau mengikuti konsep al Quran, keberadaan ilmu sudah seharusnya membawa kebijaksanaan bagi manusia. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang (Nampak) berilmu, tapi amalnya sangat tidak mencerminkan ilmu yang dimilikinya. Lebih fatal lagi, jika keberadaan ilmu membuat seseorang menjadi sombong, merasa bahwa dirinyalah yang terbaik, sehingga sulit menerima ilmu dari orang lain. Hal ini tentu saja berkaitan dengan banyak hal, terutama niat dalam mencari ilmu. Abu Utsman pernah bertanya melalui surat kepada Muhammad bin al Fadhl, “Apa tanda kesengsaraan itu?” Dia itu menjawab, “ ada tiga. Diantaranya yang pertama, seseorang yang diberi kemampuan untuk beramal, tetapi tidak diberi keikhlasan. Kedua, mendapatkannya kesempatan untuk bersahabat dengan orang-orang shalih, tetapi tidak mau menghormati mereka”
Maka sungguh, bagi orang-orang yang berilmu, akan tercipta pribadi-pribadi tawadhu’ dan takut. Karena sesungguhnya inilah termasuk tanda-tanda ilmu yang baik dan bermanfaat.
Allah jelas-jelas membedakan derajat orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Walupun sama-sama diberi perangkat-perangkat untuk mencari ilmu, rupanya tidak setiap manusia mau dan mampu memanfaatkan potensi ini. Oleh karena itu wajar jika Allah memberikan penghargaan tersendiri bagi orang-orang yang mau mencari ilmu.
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang tidak mengetahui (Q.S. Az Zumar:9).Jerih payah yang telah dilakukan oleh para pencari ilmu seperti yang dialami Muhammad bin Thahir Al Maqdisy, Abu Zakaria At-Tibrizy, Imam al-Bukhari dan masih banyak lagi para pencari ilmu lainnya akhirnya membuahkan hasil. Allah mengangkat derajat mereka, dan menganugerahkan mereka kelezatan dalam belajar, dan kenikmatan menjadi orang alim. Kenikmatan yang seandainya para raja tahu dan mampu, tentu mereka akan merebutnya dengan pedang-pedang mereka. Itulah kenikmatan yang tak akan diraih kecuali oleh orang yang pernah merasakan pahit getir mencari ilmu. Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang belum pernah merasakan satu saat kesusahan dalam mencari ilmu, maka ia akan mengenyam pahitnya kebodohan selama hidupnya”
Penuntut ilmu sejati, takkan pernah merasa jemu. Bila semula belajar menjadi beban, akhirnya ilmu menjelma menjadi sebuah kenikmatan. Semakin banyak dicari, semakin banyak dimiliki, pesona ilmu makin menarik hati untuk dicari. Abdullah bin Mas’ud berkata, “ada dua golongan yang tidak akan pernah merasa puas, penuntut ilmu dan pemburu dunia. Keduanya tidak sama. Adapun penuntut ilmu semakin mendatangkan ridha ar-Rahman, sedangkan pemburu dunia semakin membuat dirinya melampaui batas”.
Seseorang yang berilmu pada akhirnya dituntut untuk mengajarkan ilmunya. Tak hanya itu, ia juga harus pandai memilih materi yang sesuai dengan kadar dan tingkat kemampuan orang lain, termasuk memilih orang yang berhak mendapat ilmu dan tidak memberikan kepada selainnya. Pada terakhir ini, Katsir bin ‘Umair berkata, '"Jangan engkau sampaikan hikmah kepada orang-orang bodoh sehingga mereka akan mendustakannya, jangan engkau sampaikan kebatilan kepada orang-orang bijak sehingga mereka akan membencimu, janganlah engkau halangi ilmu dari orang yang berhak mendapatkannya sehingga kamu berdosa, dan jangan engkau sampaikan kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya sehingga engaku menjadi orang bodoh. Engkau mempunyai kewajiban terhadap apa yang engkau miliki sebagaimana engkau mempunyai kewajiban terhadap harta yang engkau miliki."
Jika para malaikat mempunyai keutamaan karena kemuliaan yang diberikan kepada mereka, maka ulama (orang berilmu) juga memiliki keutamaan karena kemuliaan yang dianugerahkan kepada mereka. Disinilah Allah dengan segala kebijaksanaan-Nya menempatakan segala sesuatu dengan tempatnya. Jadi kalau mengikuti konsep al Quran, keberadaan ilmu sudah seharusnya membawa kebijaksanaan bagi manusia. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang (Nampak) berilmu, tapi amalnya sangat tidak mencerminkan ilmu yang dimilikinya. Lebih fatal lagi, jika keberadaan ilmu membuat seseorang menjadi sombong, merasa bahwa dirinyalah yang terbaik, sehingga sulit menerima ilmu dari orang lain. Hal ini tentu saja berkaitan dengan banyak hal, terutama niat dalam mencari ilmu. Abu Utsman pernah bertanya melalui surat kepada Muhammad bin al Fadhl, “Apa tanda kesengsaraan itu?” Dia itu menjawab, “ ada tiga. Diantaranya yang pertama, seseorang yang diberi kemampuan untuk beramal, tetapi tidak diberi keikhlasan. Kedua, mendapatkannya kesempatan untuk bersahabat dengan orang-orang shalih, tetapi tidak mau menghormati mereka”
Maka sungguh, bagi orang-orang yang berilmu, akan tercipta pribadi-pribadi tawadhu’ dan takut. Karena sesungguhnya inilah termasuk tanda-tanda ilmu yang baik dan bermanfaat.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (orang-orang yang berilmu)” (QS. Fathir:28).
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah,maka Dia akan memahamkan agama padanya. Sesungguhnya aku hanyalah orang yang membagi, sedangakn Allah yang member. Umat ini senantiasa akan tetap menegakkan perintah Allah, sementara orang-orang yang menyelisihi mereka tidak akan bisa membahayakan mereka sampai datangnya urusan Allah, sedang mereka tetap di atas kebenaran” (HR. Bukhari)
Maraji’: Majalah Islam Ar-Risalah Edisi 71 dan 93.
0 komentar:
Posting Komentar